Jumat, 20 Agustus 2010

Kerauhan



Warga desa sedang heboh karena ada sepuluh KK (kepala keluarga) dari mereka yang tiba-tiba berganti nama menjadi Anak Agung (kasta yang lebih tinggi).

“Katanya tepat waktu odalan (upacara agama) di pura, keluarga besar mereka banyak yang kerasukan. Katanya yang rauh adalah Bhatara leluhur mereka, berkata bahwa katanya dulu leluhur mereka adalah raja, seorang pemimpin katanya,” begitu kata I Made Jaba Ulian Sudra.

Warga sekeha tuak pada tertawa cekikikan. Beginilah kalau membicarakan hal yang bersifat niskala (tidak nyata), terlalu banyak ‘katanya’.

“Sudah biarkan saja kalau ada hal-hal yang seperti itu. Sepertinya sudah tidak ada kebanggaan menjadi orang jaba (kasta biasa).

Masalahnya, sesudah mereka menyandang nama Anak Agung, sepuluh keluarga tersebut juga mulai bertingkah seperti Anak Agung. Dulu biasanya tidak masalah kalau duduk di bawah, sekarang asal menghadiri suatu upacara agama, semua berlomba mencari tempat duduk di atas. Biasanya tidak masalah kalau di panggil “pak”, sekarang langsung melotot matanya, bergidik kumisnya. Kalau dipanggil “ratu” langsung tersenyum manis.

Namun, yang paling membuat warga muak adalah masalah tanah dan kerja bhakti. Semenjak menjadi Anak Agung keluarga tersebut tidak mau ikut kerja bhakti, mengakui tanah pasar dan banjar adalah tanah keluarga mereka.

“Dulu leluhur kami yang punya tanah itu,” begitu klaim mereka.

Sekarang desa dan banjar harus membayar uang sewa, jika tidak, mereka akan membawa kasus ini ke pengadilan.

“Nah, inilah namanya kerasukan bermotif ekonomi. Mengaku mendapat petunjuk dari Bhatara padahal niatnya hanya mencari uang lebih banyak,” I Nyoman Meled Kaponggor menyela.

Menurut I Nyoman, ada banyak jenis kerasukan di Bali.

“Yang paling umum adalah kerasukan bhuta kala. Permintaan mereka paling ayam dan arak-brem (minuman fermentasi dari beras ketan). Dengan dihaturkan tetabuhan dan sesembahan, beres sudah urusannya,”

Kalau ada bhuta kala yang meminta sesembahan berupa manusia, sungguh keterlaluan. Asli, bhuta kala yang tidak tau HAM (Hak Asasi Manusia), dan asli itu kerjaan paranormal yang suka menakuti pasien agar dapat uang lebih banyak.

“Jenis kerauhan yang nomor dua namanya kerasukan bermotif politik. Jenis kerasukan seperti ini biasanya para tokoh masyarakat yang ingin populer, berniat menarik dukungan untuk dirinya dari Ida Bhatara Samodaya,”

Ada tokoh yang terlihat begitu sakti karena kerasukan dari bhatara resmi─seperti Bhatara Siwa dan Bhatari Durga─sampai bhatara yang belum populer─seperti Bhatara Wilwatikta, Bhatara Majapahit dan Bhatara Nusantara. Semua bhatara tersebut berkata bahwa tokoh tersebut akan menjadi pemimpin Bali masa depan. Seolah bhatara tidak ada kerjaan sampai mengambil pekerjaan Mama Lauren sebagai peramal.

“Jenis kerasukan yang ketiga adalah kerasukan bermotif ekonomi,”

Pada kerasukan yang seperti ini bhatara turun mengurus pembagian tanah, sengketa warisan, pinjaman di bank.

“Ujungnya, yang mengaku kerasukan itu pasti menurut ida bhatara posisinya paling benar,”

Ada juga kerasukan psikologis. Biasanya jenis kerasukan seperti ini hanya dialami kakek dan nenek yang tidak dihiraukan oleh anak-cucu mereka. Maklum kalau di Bali sudah biasa kalau orang tua tidak dihiraukan sewaktu masih hidup. Jika sudah meninggal baru sibuk membuatkan bade (alat pembawa mayat) paling tinggi, ngaben sampai menghabiskan satu milyar.

“Biasanya pada waktu upacara hari raya agama di rumah, kerasukanlah si nenek, bhatara yang merasuki sibuk menyalahkan anak-cucu yang tidak menghiraukan si nenek.”

Manggut-manggut semua sekaha tuak itu.

“Lantas, kalau kerasukan yang sebenarnya dari turunnya Ida Bhatara seperti apa?” I Made bertanya.

I Nyoman menjawab.

“Kalau Ida Bhatara ingin bicara, kamu pikir Ida tidak bisa turun langsung? Kenapa harus meminjam badan manusia yang dekil dan mulutnya kotor?”
Sepakat-setuju semua warga sekaha tuak.


Diambil dari kolom Bungklang Bungkling, ‘KERAUHAN’, di harian Bali Post, Minggu, 30 Mei 2010, oleh I Wayan Juniartha. Diterjemahkan oleh Putu Wiwid Budiastra.