Jumat, 20 Agustus 2010

‘Kerauhan’, Sugesti dalam Balutan Religi



 
Di Bali, ‘kerauhan’ (trance) sudah menjadi bagian yang terpisahkan dalam kehidupan sehari2 khususnya yang berkaitan dengan upacara adat maupun upacara agama. Lalu apa sebenarnya ‘kerauhan’ itu? Bisakah dimatematiskan bahwa kerauhan sama dengan kesurupan? Di Wiki yang ada hanya definisi kesurupan (bukan kerauhan) yaitu sebuah fenomena dimana seseorang berada diluar kendali pikirannya karena kemasukan kekuatan gaib.
Dalam konteks masyarakat Bali, saya berpendapat bahwa kerauhan sebagian besar berkaitan erat dengan adat istiadat dan agama, yg saya asumsikan sbb: suatu keadaan dimana seseorang berada diluar kesadaran pikiran atau berada dalam keadaan setengah sadar yang dipicu oleh suatu sugesti yang berlebihan terhadap suatu object baik itu yang material (tempat2 suci, benda2 yang disakralkan dll) dan juga object spiritual (Tuhan, dewa2 dll).
Disini, saya menemukan sebuah definisi yang menarik ttg kerauhan/trance. Kenapa menarik? Karena ada aspek ‘teknik’ dalam definisi tersebut dan juga ada kaitannya dengan ritual. Adanya aspek teknik, berarti adanya semacam metode/cara2 yang bisa diterapkan orang kebanyakan untuk bisa mencapai keadaan ‘trance’ ini. Dan saya punya pengalaman ttg teknik buatan untuk bisa kerauhan. Percaya atau tidak :)

Trance is an altered state of consciousness which individuals can enter through a variety of techniques, including hypnotism, drugs, sound (particularly music, percussive drumming etc.), sensory deprivation, physical hardships (eg. flagellation, starvation, exhaustion) and vigorous exercise (particularly dance). People can also use trance, particularly in the context of ‘ritual’ events.

Di Bali, mendengar orang dalam keadaan kerauhan otomatis kita akan berpikir bahwa dia sedang dimasuki kekuatan supernatural dari Tuhan ataupun dewa2 sehingga kerauhan juga dikenal dengan istilah ‘kelinggihan’. Berasal dari kata ‘linggih’ yang artinya tempat. Berarti sedang ‘ditempati’, sedang dipinjam raganya untuk sementara oleh kekuatan gaib. Fenomena ini banyak ditemukan misalnya pada saat upacara2 baik yang agama maupun adat.
Benarkah begitu mudahnya Tuhan ‘masuk’ ke dalam raga seseorang? Benarkah setiap fenomena kerauhan selalu identik dengan kekuatan2 gaib atau supernatural? Sepertinya tidak selalu begitu. Kerauhan/trance seringkali dipengaruhi dua faktor penting dalam sisi psikologis seseorang yaitu obsesi dan sugesti. Dalam masyarakat Hindu di Bali, dua faktor ini cenderung lebih besar ke kehidupan beragama mereka.
Bagaimana kita mengetahui bahwa kerauhan seseorang itu ‘asli’ atau ‘palsu’? (baca: sugesti dan obsesi). Saya tidak tahu tapi untuk tipe trance yang kedua bisa dicapai dengan cara2 tertentu yang tentunya masih berkaitan erat dengan agama (Hindu). Berikut ini saya ceritakan sedikit ttg cara2 yang pernah saya terapkan.
Niat untuk bisa trance diawali karena seringnya melihat orang2 kerauhan di Nusa Penida, bukan saja ditempat2 suci juga di acara2 adat lainnya. Orang2nyapun tidak selalu yang rohaninya tinggi tapi teman2 sebaya yang kalau diukur dosa2 dan sisi gelapnya mungkin akan membuat Tuhan berfikir 1000 kali untuk meminjam tubuhnya sehingga dia bisa kerauhan. Ada lagi fenomena dimana seseorang (katanya) bisa berkomunikasi dengan manisfestasi tertentu dari Tuhan. Maka sayapun terobsesi dan menerapkan cara2 saya sendiri untuk bisa trance.
Penting diingat, tingkat keberhasilan cara sederhana ini lebih tinggi jika ‘kundalini’ anda sudah dibuka juga diperlukan konsentrasi luar biasa pada satu object entah yang physical atau yang tidak nyata. Dalam hal ini saya memusatkan pikiran pada sebuah pura dan Beliau yang berstana di sana. Selama tiga bulan berturut-turut saya melakukan sembahyang penuh. Tiga kali dalam sehari, panca sembah dan Puja TriSandya. Satu fokus penuh selama 3 bulan itu pada satu object. Taadaa. Saya bisa trance dalam waktu 3 bulan. Pertama2 yang dirasakan dalam trance buatan ini adalah merinding (goose bump) yang luar biasa di sekitar daerah leher belakang, tubuh juga terasa ‘gining’ (apa ya Bahasa Indonesianya?) dan ringan. Sebenarnya kesadaran masih ada tapi tidak bisa dikendalikan dengan mudah. Artinya bisa dikendalikan tapi memerlukan usaha yang luar biasa. Lalu apa yang terjadi? Trance buatan ini ternyata sangat mengganggu linkungan sekitar setiap saya sembahyang karena selalu ribut (teriak2), jangankan sembahyang, lihat dupa saja sudah ‘gining’ luar biasa. Betapa hebatnya kekuatan sugesti pikiran yang difokuskan secara terus menerus. Teriak2nya agak sombong sedikit karena ‘ngaku2′ bahwa ini kekuatan anu yang datang, bahwa saya dimasuki dewa ini dan itu.
Ada juga positifnya dalam masa2 trance ini, rasa tenang dan tentram karena merasa Tuhan super dekat dengan saya. Jadi PD. Wah ga apa-apa, toh juga juga Tuhan gampang ‘dipanggil’ dan bisa dengan mudah masuk ke dalam tubuh saya, begitu kira2 yang ada dalam pikiran waktu itu. Juga mengarah malah menuju kesombongan. Panggil Tuhan? Iya dalam hal ini manisfestasi khususnya yang saya puja pada waktu 3 bulan itu. Bagaimana memanggilnya? Sederhana, saya konsentrasi saja dengan penuh dan sayapun kembali dalam keadaan trance. Tidak takut apapun, termasuk ketika hampir dikeroyok waktu ‘nganggur’ ke Kintamani :). Betul, mirip sinetron jin dan jun :).
Lama kelamaan saya sadar sendiri bahwa trance hasil karya saya itu ternyata tidak ‘asli’ karena pengaruh dua faktor tadi sugesti dan obsesi. Takutnya menjadi gila. Akhirnya kundalinipun ditutup dan melakukan kegiatan sembahyang secara ‘normal’ dan selalu berusaha positif, tidak membiarkan sugesti dan obsesi merajalela dalam pikiran saya.
Pengalaman ini menyadarkan saya bahwa mendekatkan diri kepada Tuhan harus benar2 dilandasi dengan pikiran jernih dan pure. Ego, sugesti dan obsesi hanya menjadi kabut2 yang bisa menghalangi hubungan yang hakiki dengan Tuhan.