Kamis, 19 Agustus 2010

Mitos Watugunung



Satu di antara hari terpenting Pawukon adalah Saraswati. Ini merupakan hari penutup siklus Pawukon. Pada hari tersebut, masyarakat Hindu menghaturkan banten pada lontar dan buku, serta mabakti kepada Dewi Saraswati, Dewi Ilmu Pengetahuan. Keesokannya, pada hari Banyu Pinaruh, yaitu hari pertama siklus Pawukon berikutnya, mereka melakukan penyucian ritual di sungai atau laut. Rentetan upacara ini diyakini sebagai pergantian siklus, dari suatu Pawukon ke Pawukon berikutnya.

Mitos Watugunung sendiri mengisahkan inses seorang putra, Sang Watugunung, dengan ibunya, Sinta. Setelah campur tangan Dewata, hubungan aib ini diputus dengan diciptakannya kalender, dengan titik batas hari Saraswati sebagai pemisah antara wuku terakhir (Watugunung) dengan wuku awal (Sinta). Karena bandel, kepala Watugunung kecil terluka oleh amarah ibunya. Ia pergi dan mendapat kesaktian. Muncul angkara murkanya terhadap wanita, raja-raja, dan akhirnya ibunya—yang lalu dikawininya. Di peraduan, Dewi Sinta mencari kutu di kepala suaminya. Ia melihat parut luka dulu. Menyadari telah bersenggama dengan anaknya, ia ingin putus dan mengakali Watugunung supaya melamar istri Batara Wisnu. Wisnu menganggap itu sebagai lancang. Meletuslah perang dahsyat.
Watugunung kalah oleh Wisnu yang bertriwikrama.

Berikut ini yang disuratkan lontar: Watugunung dicampakkan ke tanah pada hari Minggu Redite-Kliwon—disebut Watugunung Runtuh. Dia dibunuh pada hari Senin Soma-Umanis—disebut Sandang Watang, hari “pembuangan layon”. Lalu, dia diseret di tanah pada hari Selasa Anggara Paing, disebut Paid-paidan (seret). Kemudian, pada hari Rabu Buda Pon—disebut Buda Urip (Rabu Hidup), dia dihidupkan kembali pada hari Kamis Wrespati Wage oleh Batara Wraspati. Setelah itu dia dibunuh sekali lagi oleh Wisnu, sebelum akhirnya Siwa menghidupkannya pada hari Sukra Kliwon. Melihat Wisnu sekali lagi akan membunuhnya, Siwa pun bersabda, “ O, Wisnu, jangan bunuh lagi sang Watugunung; bila kau membunuhnya, hilanglah ajaran bagi generasi mendatang; lebih baik dia diberikan kehidupan yang kekal.”

Wisnu menjawab, “Ingin saya bunuh Watugunung oleh karena dosanya mahabesar: dia telah [mencoba] mengawini wanita yang sudah bersuami; dia telah pula bersanggama dengan ibunya dan ibu tirinya; [kesalahan ini] terlalu besar bagi dunia manusia.” Maka Siwa bersabda, “Mulai sekarang ini, pantanglah manusia mengawini wanita yang sudah bersuami, apalagi ibu dan ibu tirinya.” Lalu dia menambahkan, ”Tanpa membunuhnya, dapat kita menghukumnya dengan cara lain, oleh karena dosanya memang besar.”

Lalu Wisnu berujar, “He, Watugunung, setiap enam bulan kau akan mengalami masa leteh/kotor.” Yang disahut oleh Watugunung, “Hukuman ini hamba terima, O, Batara.” Batara Siwa lalu menghidupkan kembali raja-raja Wuku serta para Panca Resi—korban peperangan. Pada hari Saniscara Umanis turunlah para dewata untuk membersihkan dunia. Itulah hari ketika sesajen dihaturkan kepada lontar-lontar (Hari Raya Sarawati). Hari Redite Paing disebut Banyu Pinaruh, saat Watugunung dimandisucikan. Kisah ini ditulis Dewata, dan kemudian jadi ketetapan aturan sistem dewasa. Istilah dewasa merujuk pada hasil karya para Dewa, di mana para raja dimaklumatkan jadi wuku dalam kalender.

Mitos Watugunung demikian dapat diuraikan maknanya sebagai berikut: Sebelum kemenangan para dewata, mayapada tampak sebagai dunia “belum tertata”. Lembaga keluarga belum ada: Ibu (Sinta) bersikap kasar pada anaknya dan bahkan melukainya (Watugunung); sebelumnya, ayah Watugunung pun meninggalkan anak-istri seenaknya. Kehidupan seksual tak beraturan, cenderung liar: laki sesukanya memerkosa wanita. Kehidupan politik pun kacau balau: perang ada di mana-mana; Watugunung merajalela, dan bahkan menaklukkan kerajaan ibu dan ibu tirinya (masing-masing Sinta dan Landep). Puncak kekacauan-kekacauan ini adalah inses Watugunung dengan ibunya, diikuti kesadaran pada ibunya bahwa dirinya telah melakukan aib, meski itu suratan takdir—inses ini semula hanya perilaku para dewa.

Akibat aib itu timbul kekacauan kosmis, “khaos” yang total: Watugunung abai jati dirinya dan merasa sepadan dengan Dewa, hingga mengusik Wisnu, sang pemelihara Bumi. Intervensi Wisnu memulihkan kestabilan kosmis dan mengembalikan Watugunung kepada mula manusiawinya. Alih-alih dibunuh, Watugunung malah dicerahkan dan disuratkan jadi penguasa kalender serta penjamin larangan inses. Jadi, dari tokoh angkara murka yang memerkosa wanita dan mengancam para dewa kahyangan, dia berubah menjadi sarana aturan agama sekaligus penegak kestabilan di madyapada.

Apa ajaran yang tersirat di dalam mitos asal Pawukon ini? Penciptaan kalender oleh para dewata setelah mengalahkan Watugunung menegaskan pelarangan atas inses. Itulah pencerahan yang pertama. Sang ibu dan sang anak yang tadinya ternoda inses kini menempati posisi pada kedua ujung siklus Pawukon, masing-masing Watugunung pada akhir siklus dan Sinta pada awal siklus berikut.

Jadi, ibu dan anak dipisahkan, dan sekaligus diruwat oleh titik penutup siklus, yang bertepatan dengan Hari Raya Saraswati sebagaimana disinggung sekilas tadi.
Saraswati bukanlah melambangkan “pengetahuan” dalam artian yang sempit, melainkan sebagai Kesadaran. Dan, memanglah, yang paling awal dan paling universal muncul pada manusia purba ialah kesadaran bahwa kehidupan seksual di dalam keluarga dan masyarakat harus mengikuti aturan. Senggama tidak boleh dilakukan berdasarkan paksaan dan tidak boleh menyangkut sesama keluarga.
Lebih jauh, larangan atas inses Watugunung, sejatinya, boleh dianggap aturan sosial pertama pada manusia purba—sebagaimana diyakini oleh teori Freud.

Melarang inses adalah identik dengan meletakkan dasar hukum dan kehidupan sosial pada manusia yang bersangkutan. Jadi, mitos Watugunung dengan Hari Raya Saraswati-nya melambangkan peletakan dasar kehidupan sosial itu. Terkait kesadaran akan aturan seksual ini adalah munculnya Kesadaran akan waktu, yang dilambangkan oleh Watugunung sebagai penguasa kalender setelah pencerahan.
Namun, di sini terlihat bahwa pemberontakan Watugunung bukanlah berakhir dengan kemenangan manusia atas Dewa, melainkan mengembalikan manusia kepada agama, sebagaimana dilambangkan sewaktu Watugunung kalah, sadar, kemudian dijadikan penguasa atas kalender. Boleh jadi pelanggaran dan pemberontakan Watugunung menandakan awal manusia sebagai sosok yang “otonom”, terlepas dari kuasa Dewa. Tetapi, akhirnya, paling sedikit di Bali atau “di Timur”, bukanlah kebebasan yang diraih manusia, melainkan pencerahan religius alias epiphany-nya para Dewa di mana dia menyatu kembali dalam sistem yang tadinya diberontaki.

Inti ajaran jelas: keseimbangan kosmis mutlak harus dijaga, dan hal ini diartikan bahwa manusia, sebagai mikrokosmos alias Buana Alit harus tetap bersikap sebagai Buana Alit itu, yaitu mutlak harus menaati peraturan ritual yang merupakan syarat terjaganya keseimbangan makro-kosmis (Buana Agung). Aturan ritual terkait terkandung dalam kalender Pawukon dan sistem Wariga; manusia dapat hidup selaras dengan keseimbangan kosmis hanya dengan menyesuaikan tindakan dan kegiatannya dengan baik-buruknya “dewasa”, sebagaimana tertera dalam kalender Pawukon dan Wariga.

Jadi, mitos Watugunung dapat dianggap melambangkan berakhirnya, atau teratasinya, “kegelapan” manusia purba. Dengan Kesadaran yang Tercerahkan sebagaimana terwujud dalam: (1) pelarangan atas inses; (2) kesadaran akan waktu dan penyusunan kalender; (3) penetapan aturan sosial dan ritual-ritual agama; (4) epiphany alias pencerahan, terungkap unsur-unsur yang merupakan hakikat dari Jati Diri Manusia yang beradab versi Bali (dan Jawa).

Mitos Watugunung sejatinya melambangkan bagaimana manusia keluar dari kepurbaan yang paling purba—yaitu: baru muncul sebagai homo sapiens, untuk menjadi makhluk yang beradab, satu-satunya makhluk yang terpilih di muka Bumi ini. Jadi, yang dikisahkan di dalam mitos tiada lain ialah “pengadaban” di dalam dan melalui agama. Oleh karena itu, Watugunung dapat dianggap sebagai “cultural hero”—tokoh yang “mengadabkan” masyarakat Bali (dan Jawa) ke arah kemuliaan manusia seutuhnya.