Jumat, 20 Agustus 2010

Hubungan Kerauhan dengan Bhagawad Gita



Dalam Bhagavad-gita 3. 42 dijelaskan struktur yang membentuk jasmani dan rohani manusia mulai dari indria-indria sebagai struktur yang paling bawah, kemudian lapisan diatasnya yang lebih sempurna adalah pikiran, buddhi dan akhirnya kesadaran sang diri, Atma. Struktur ini menegasikan, bahwa Atma sebagai kesadaran tertinggi hendaknya mengendalikan buddhi, buddhi mengendalikan pikiran, dan selanjutnya pikiran mengendalikan indria-indria. Dalam arti ini, orang yang disebut bertindak benar ialah orang yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan indrianya yang dikendalikan pikiran, dan yang pikirannya dikendalikan buddhi, dan yang buddhinya lebih jauh telah dicerahi atma.
Atma adalah locus yang menjadi sumber pengalaman rohani dan pengalaman empiris manusia. Seluruh pengalaman manusia, baik ketika ia sadar maupun ketika ia tertidur, terakumulasi di dalam gua garbha atma. Karena itu atma widya adalah pengetahuan spiritual yang memberikan pembebasan. Orang yang bertindak karena pengaruh kesadaran atma, ia bertindak dengan cara yang benar, dan ia selalu suci serta siap menerima wahyu.
Apabila atma tidak mengendalikan indria-indria melalui buddhi dan pikiran, maka terjadi kehampaan dalam diri orang tersebut. Dalam keadaan hampa tersebut, maka mudah sekali stimulan mempengaruhi diri seseorang. Oleh karena itu, orang yang dikendalikan indria-indrianya, tanpa pencerahan dari sang atma, maka ia mudah sekali mengalami kerauhan. Stimulan yang menyebabkan kerauhan bisa karena roh dan juga bisa karena akumulasi masalah yang dihadapi di dunia ini. Orang yang mengalami stress dan strain berat, kadang-kadang menjerit-jerit seperti orang mengalami kerauhan. Akhir-akhir ini, banyak penduduk miskin di kota-kota yang rumahnya dirobohkan atau dibakar Satpol PP Pemda setempat, mereka berteriak-teriak histeris persis seperti orang yang mengalami kerauhan.
Jadi, mudahnya stimulan dari luar mempengaruhi kesadaran seseorang menunjukkan bahwa kedirian orang itu masih labil sehingga keadaannya seperti perahu di laut yang mudah diombang-ambingkan gelombang. Dalam pandangan agama, yang mengombang-ambingkan kehidupan kita sehingga mengalami suka dan duka di dunia ini, ialah tiga sifat alam yang disebut tri guna, yaitu satwam, rajas dan tamas. Kita merasakan kebahagiaan dan cenderung melakukan kegiatan saleh karena sedang berada dalam pengaruh satvika. Sedangkan sifat-sifat rajas mendorong kita dinamis dan juga ambisi. Sementara kemalasan merupakan perwujudan dari tamasa guna. Triguna inilah yang menjadi sumber sukacita dan dukacita makhluk hidup di dunia ini. Bahkan kelahiran-kelahiran yang lebih rendah juga disebabkan karena tingkat pengaruh triguna tersebut. Itulah sebabnya Sri Krisna di dalam Bhagavad-Gita menganjurkan, triguna tita, atasilah triguna.
Bagaimana mengatasi triguna? Inilah dengan senantiasa menempatkan indera-indera kita selalu dalam pengaruh yang berjenjang mulai dari pikiran, buddhi dan atma. Artinya, dia menyucikan indera-inderanya dengan kebenaran buddhi dan atma, seperti dianjurkan dalam Manawa Dharma Sastra 5.109, sbb: tubuh dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan kebenaran, jiwa manusia dengan pelajaran suci dan tapabrata, kecerdasan dengan pengetahuan yang benar.
Tentang struktur yang membangun badan jasmani dan rohani manusia, atau dengan kata lain, mulai dari bentuk kasar (indera-indera) sebagai struktur yang paling rendah sampai kepada bentuk yang paling halus (atma) sebagai struktur yang tertinggi, bukanlah monopoli Bhagavad-gita. Varian-varian lain diuraikan dalam kesusastraan Veda yang lainnya, seperti Upanisad dan Wrhaspati Tattwa. Dalam Upanisad kita menemukan istilah kosa atau lapisan yang membentuk badan manusia, mulai dari lapisan yang paling luar (kasar) sampai kepada lapisan yang paling dalam (halus), seperti annamaya kosa, pranamaya kosa, manomaya kosa, vijnanamaya kosa, dan anandamaya kosa. Dalam Katha Upanisad, struktur itu disimbolkan dengan kereta, kuda, tali kekang, sopir dan pemilik kereta. Sementara di dalam Wrihaspatti Tattwa dijelaskan kedalam tiga istilah: sthula, suksama dan antakarana.
Dengan struktur itu semakin jelas bahwa fenomena kerauhan hanyalah terjadi pada tataran indera-indera yang mengalami kehampaan karena tidak tercerahkan oleh pengetahuan yang benar yang bersumber dari atma. Jadi, benar beperti apa yang dipaparkan penanya di atas, bahwa sulinggih jarang kerauhan. Bukan hanya jarang, malahan sejauh pengalaman kami, sulinggih tidak pernah mengalami kerauhan. Demikian juga, mereka yang berpikiran rasional, yang senantiasa berpikiran logis, dan menjadikan kegiatan berpikir sebagai medium pengembaraan yang sangat mengasyikkan, akan jarang diterpa kerauhan.
Jadi kerauhan itu bukanlah tanda bahwa seseorang sedang mengalami kematangan rohani atau kepenuhan rohani. Malahan, dalam kebanyakan kasus, kerauhan justru merupakan pertanda seseorang sedang terjerat dalam berbagai himpitan masalah, dan kerauhan itu menjadi salah satu konsesi atau pelarian untuk keluar dari kemelut kehidupan yang dialami seseorang. Saya masih ingat, semasa kecil, apabila ada kerauhan di pura, orang yang kerauhan tersebut malah dimarahi orang lain, yang memarahi biasanya biasanya orang itu usianya lebih tua. Orang yang memarahi ini berkata, "sing ja Bhatara ane ngalinggihin", maksudnya, bukan Bhatara yang hadir.
Pernyataan tersebut bukan tanpa alasan. Sebab di dalam masyarakat, terutama di daerah Bali Selatan, ada istilah mamutik, artinya, orang sengaja karauhan supaya maksud-maksudnya atau keinginannya secara sekala tidak dipenuhi (baik oleh keluarga, istri suami, anak, dan masyarakat) supaya dengan kerauhan itu, keinginannya itu bisa dipenuhi. Saya punya pengalaman unik, ada orang yang pernah saya antar tirtayatra ke India, dan setelah kembali dari tirtayatra ke India, dia kerauhan di rumahnya. Dalam kerauhan itu, dia minta supaya dinikahkan dengan seorang gadis yang selama ini menjadi pasangan selingkuhnya. Dia juga menjelaskan, keluarganya akan hancur apabila dia tidak dinikahkan dengan gadis idamannya itu. Kalau model kerauhan seperti ini, kayaknya tidak hanya layak dimarahi, melainkan juga patut dibentak.
Di luar yang telah diuraikan di atas, persoalan karauhan tidaklah sesederhana seperti yang telah disajikan di atas. Pertanyaan yang muncul adalah: bagaimana halnya dengan kerauhan yang ternyata petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh orang yang kerauhan itu, ternyata memang benar dan membawa keselamatan bagi orang yang dimaksudkan oleh orang yang kerauhan itu. Terhadap fenomena ini, orang Bali membedakan antara kerauhan dan kelinggihan. Kelinggihan adalah istilah lokal untuk fenomena pemahyuan. Jadi, dia bersumber dari Sang Diri, Kesadaran Agung, Atma.